Memilih usaha ternyata tidak harus dari sesuatu yang besar. Banyak peluang bisa diperoleh justru dari sesuatu yang nampak sepele. Misalnya, beternak ikan lele. Ikan berkumis ini memang masih dipandang sebelah mata oleh pebisnis. Padahal, keuntungan yang dijanjikan cukup besar. Gerai supermarket hingga warung tenda di pinggir jalan butuh pasokan lele dalam jumlah banyak secara rutin.
Prospek cerah usaha lele tidak disia-siakan oleh Franky Maradonna, mahasiswa Program Studi Administrasi Negara. Bersama dua orang kerabatnya Angga Susanto, mahasiswa Program Studi Administrasi Negara dan Putry Nurhaeni, mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional, merekapun memulai bisnis ini.
Ketiadaan modal, tak melunturkan semangat mereka. Program Kegiatan Mahasiswa Kewirausahaan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), jadi kesempatan untuk mengajukan proposal kewirausahaan mengenai ternak Lele Sangkuriang di lahan sempit dengan pengelolaan limbah organik. Karena dinilai konsep yang dibuat baik dan usaha yang ingin dirintis adalah usaha produktif, Dikti pun menerima proposal tersebut. Kini mereka mendapatkan dana hibah untuk merintis usaha.
Saat ditanya kenapa Lele Sangkuriang yang diternak, Frankypun menjawab, “Lele Sangkuriang selain proses pembesaran lebih cepat dibandingkan dengan lele yang lain, pakannyapun juga lebih mudah bisa menggunakan limbah peternakan, limbah pemindangan, dan limbah pabrik roti dengan harga murah, sehingga biaya pemberian pakan dapat berkurang dan menghasilkan keuntungan yang besar,” paparnya.
Ternak lele, lanjut Frangky, tidak membutuhkan banyak oksigen seperti ikan Gurame. Airnya pun tidak harus pada air yang mengalir. Kolam lele tidak harus menggunakan tanah yang digali tetapi dapat menggunakan terpal berukuran 2x3 yang pada tiap sisinya diikatkan pada tiang dengan kedalaman satu setengah meter. “Bagi yang ingin berbisnis lele dan tidak memiliki lahan yang memadai, tidak perlu khawatir, cara ini dapat dilakukan, sayapun juga menggunakan cara seperti ini,” tutur Frangky menyarankan.
Awalnya, ia merasa kesulitan berternak Lele Sangkuriang karena belum tahu caranya. Dari 1000 bibit yang dibeli semuanya mati dalam waktu singkat. Padahal telah banyak referensi buku dan artikel yang ia baca dari buku ataupun internet tentang cara berternak lele.
“Buku itu menganjurkan, bibit yang telah dibeli, dituangkan dalam kolam yang sudah berisi air. Lalu saya praktikan, ternyata semua lele yang saya beli mati. Dari situ saya menyimpulkan ternyata teori dengan praktiknya berbeda,” tuturnya.
Frangky mengakui, karena belum mengetahui cara berternak lele, menjadi penyebab matinya semua bibit lele yang telah Frangky beli. “Bibit yang kami belipun belum layak dijadikan bibit karena ukurannya hanya sekitar 3-4 cm. Seharusnya bibit yang layak ukurannya sekitar 4-6 cm. Ini berpengaruh terhadap daya tahan tubuh lele. Makanan yang kami beripun pada waktu itu pelet. Dari makanannya saja sudah salah, bagaimana lele mau bertahan hidup,” aku Frangky.
Beruntung Frangky dan timnya kenal dengan dosen perikanan di salah satu Perguruan Tinggi Swasta. Setelah berkonsultasi dengannya, ia pun menganjurkan agar Frangky dan timnya mengunjungi peternakan lele yang cukup besar di daerah Gadog.
“Kamipun pergi kesana. Saat kami mau membeli lele, sang pemilik kolam tidak mengijinkan dengan alasan kami belum tahu cara berternak lele. Akhirnya, kami diajari cara berternak lele yang benar. Setelah dua kali kami ke sana untuk belajar, akhirnya pada kunjungan ketiga, sang pemilik mengijinkan kami untuk membeli. Banyak pelajaran yang kami dapat dari sana,” tandas Frangky.
Sang pemilik kolam yang ditemuinya di Gadog mengajarkan Frangky agar membuat wadah terlebih dahulu sebelum mencemplungkan lele ke dalam kolam. Caranya, kata Frangky, kolam yang sudah berisi air diletakkan pupuk kandang (kotoran kambing) sebanyak lima kg, lalu ditambah garam satu sendok dan zat kimia, kemudian didiamkan selama delapan hari. Setelah timbul plankton, lanjut Frangky, baru lele dicemplungkan. Plankton tersebut berguna untuk mengatur kadar keasaman air.
Frangky mengakui, pengetahuan yang ia peroleh selama di Gadog sangat berguna dalam pengembangan usaha lele miliknya. Sekarang usaha yang dirintisnya sudah berkembang. Kini, dari 1.000 bibit lele yang ia beli, satupun tidak ada yang mati. “Setelah enam minggu berjalan, ukuran lele sudah sekitar 11 cm, rencananya kami panen tiga bulan lagi, sekitar pertengahan Juli,” katanya dengan penuh optimis.
Mengenai pemasaran lele tersebut, Frangky mengatakan, akan menawarkan kepada warung-warung tenda pecel lele yang ada di pinggir jalan dan pasar di sekitar rumahnya yang membutuhkan pasokan lele secara rutin. “ Semua berawal dari yang kecil, lakukan yang terbaik dari yang kecil dan focus dalam membangun usaha,” ujar Frangky.
Hal ini ditanggapi positif oleh Kepala Biro Kemahasiswaa, Djainul Djumadin. Katanya, upaya Frangki dan timnya dapat ditiru oleh mahasiswa lain. Mental dan keterampilan kewirausahaan harus dibangun. “Seharusnya pola fakir mahasiswa tidak hanya mencari kerja tetapi juga harus bisa membuka lapangan kerja. Lulusan perguruan tinggi harus dapat bermanfaat untuk masyarakat sekitar,” papar Djainul.
Menurutnya, Upaya yang dilakukan Frangky sejalan dengan misi Unas dalam mencetak para wirausahawan muda yang handal dengan memasukkan mata kuliah kewirausahaan ke dalam kurikulum semua program studi diploma dan S1. Langkah berikutnya adalah memfasilitasi praktek kewirausahaan melalui ekspo dan koperasi. Unas telah mencanangkan untuk membina kemitraan yang lebih aktif antara wirausaha mahasiswa dengan wirausaha yang telah mapan.
“Biro Kemahasiswaan telah membina lima kelompok wirausaha mahasiswa antara lain usaha jamur, batako dari limbah got, usaha koktail dan lidah buaya, pupuk organik dan perangkat lunak pembelajaran secara praktik,” tutup Djainul.
Prospek cerah usaha lele tidak disia-siakan oleh Franky Maradonna, mahasiswa Program Studi Administrasi Negara. Bersama dua orang kerabatnya Angga Susanto, mahasiswa Program Studi Administrasi Negara dan Putry Nurhaeni, mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional, merekapun memulai bisnis ini.
Ketiadaan modal, tak melunturkan semangat mereka. Program Kegiatan Mahasiswa Kewirausahaan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), jadi kesempatan untuk mengajukan proposal kewirausahaan mengenai ternak Lele Sangkuriang di lahan sempit dengan pengelolaan limbah organik. Karena dinilai konsep yang dibuat baik dan usaha yang ingin dirintis adalah usaha produktif, Dikti pun menerima proposal tersebut. Kini mereka mendapatkan dana hibah untuk merintis usaha.
Saat ditanya kenapa Lele Sangkuriang yang diternak, Frankypun menjawab, “Lele Sangkuriang selain proses pembesaran lebih cepat dibandingkan dengan lele yang lain, pakannyapun juga lebih mudah bisa menggunakan limbah peternakan, limbah pemindangan, dan limbah pabrik roti dengan harga murah, sehingga biaya pemberian pakan dapat berkurang dan menghasilkan keuntungan yang besar,” paparnya.
Ternak lele, lanjut Frangky, tidak membutuhkan banyak oksigen seperti ikan Gurame. Airnya pun tidak harus pada air yang mengalir. Kolam lele tidak harus menggunakan tanah yang digali tetapi dapat menggunakan terpal berukuran 2x3 yang pada tiap sisinya diikatkan pada tiang dengan kedalaman satu setengah meter. “Bagi yang ingin berbisnis lele dan tidak memiliki lahan yang memadai, tidak perlu khawatir, cara ini dapat dilakukan, sayapun juga menggunakan cara seperti ini,” tutur Frangky menyarankan.
Awalnya, ia merasa kesulitan berternak Lele Sangkuriang karena belum tahu caranya. Dari 1000 bibit yang dibeli semuanya mati dalam waktu singkat. Padahal telah banyak referensi buku dan artikel yang ia baca dari buku ataupun internet tentang cara berternak lele.
“Buku itu menganjurkan, bibit yang telah dibeli, dituangkan dalam kolam yang sudah berisi air. Lalu saya praktikan, ternyata semua lele yang saya beli mati. Dari situ saya menyimpulkan ternyata teori dengan praktiknya berbeda,” tuturnya.
Frangky mengakui, karena belum mengetahui cara berternak lele, menjadi penyebab matinya semua bibit lele yang telah Frangky beli. “Bibit yang kami belipun belum layak dijadikan bibit karena ukurannya hanya sekitar 3-4 cm. Seharusnya bibit yang layak ukurannya sekitar 4-6 cm. Ini berpengaruh terhadap daya tahan tubuh lele. Makanan yang kami beripun pada waktu itu pelet. Dari makanannya saja sudah salah, bagaimana lele mau bertahan hidup,” aku Frangky.
Beruntung Frangky dan timnya kenal dengan dosen perikanan di salah satu Perguruan Tinggi Swasta. Setelah berkonsultasi dengannya, ia pun menganjurkan agar Frangky dan timnya mengunjungi peternakan lele yang cukup besar di daerah Gadog.
“Kamipun pergi kesana. Saat kami mau membeli lele, sang pemilik kolam tidak mengijinkan dengan alasan kami belum tahu cara berternak lele. Akhirnya, kami diajari cara berternak lele yang benar. Setelah dua kali kami ke sana untuk belajar, akhirnya pada kunjungan ketiga, sang pemilik mengijinkan kami untuk membeli. Banyak pelajaran yang kami dapat dari sana,” tandas Frangky.
Sang pemilik kolam yang ditemuinya di Gadog mengajarkan Frangky agar membuat wadah terlebih dahulu sebelum mencemplungkan lele ke dalam kolam. Caranya, kata Frangky, kolam yang sudah berisi air diletakkan pupuk kandang (kotoran kambing) sebanyak lima kg, lalu ditambah garam satu sendok dan zat kimia, kemudian didiamkan selama delapan hari. Setelah timbul plankton, lanjut Frangky, baru lele dicemplungkan. Plankton tersebut berguna untuk mengatur kadar keasaman air.
Frangky mengakui, pengetahuan yang ia peroleh selama di Gadog sangat berguna dalam pengembangan usaha lele miliknya. Sekarang usaha yang dirintisnya sudah berkembang. Kini, dari 1.000 bibit lele yang ia beli, satupun tidak ada yang mati. “Setelah enam minggu berjalan, ukuran lele sudah sekitar 11 cm, rencananya kami panen tiga bulan lagi, sekitar pertengahan Juli,” katanya dengan penuh optimis.
Mengenai pemasaran lele tersebut, Frangky mengatakan, akan menawarkan kepada warung-warung tenda pecel lele yang ada di pinggir jalan dan pasar di sekitar rumahnya yang membutuhkan pasokan lele secara rutin. “ Semua berawal dari yang kecil, lakukan yang terbaik dari yang kecil dan focus dalam membangun usaha,” ujar Frangky.
Hal ini ditanggapi positif oleh Kepala Biro Kemahasiswaa, Djainul Djumadin. Katanya, upaya Frangki dan timnya dapat ditiru oleh mahasiswa lain. Mental dan keterampilan kewirausahaan harus dibangun. “Seharusnya pola fakir mahasiswa tidak hanya mencari kerja tetapi juga harus bisa membuka lapangan kerja. Lulusan perguruan tinggi harus dapat bermanfaat untuk masyarakat sekitar,” papar Djainul.
Menurutnya, Upaya yang dilakukan Frangky sejalan dengan misi Unas dalam mencetak para wirausahawan muda yang handal dengan memasukkan mata kuliah kewirausahaan ke dalam kurikulum semua program studi diploma dan S1. Langkah berikutnya adalah memfasilitasi praktek kewirausahaan melalui ekspo dan koperasi. Unas telah mencanangkan untuk membina kemitraan yang lebih aktif antara wirausaha mahasiswa dengan wirausaha yang telah mapan.
“Biro Kemahasiswaan telah membina lima kelompok wirausaha mahasiswa antara lain usaha jamur, batako dari limbah got, usaha koktail dan lidah buaya, pupuk organik dan perangkat lunak pembelajaran secara praktik,” tutup Djainul.
0 komentar:
Posting Komentar